Hukum Pidana Sebagai Hukum Publik dan Kaitannya Dengan Hukum Perdata
Dalam buku Hukum Pidana Suatu Pengantar karangan Topo Santoso, dijelaskan bahwa :
Hukum Publik atau Hukum Umum berkenaan dengan norma-norma yang mengatur hubungan antara negara beserta bagian-bagiannya dengan warga negaranya, mengatur hubungan antar negara dengan bagian-bagiannya. Berbeda dengan Hukum Privat atau hukum sipil berkenaan dengan norma-norma yang mengatur kepentingan perorangann antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain sesamanya, atau antara warga negara dengan negara beserta bagian-bagiannya apabila ini bertindak sebagai badan perorangan atau badan partikelir.
Jadi, hukum privat itu berkaitan dengan hubungan antara warga masyarakat dengan bagian dari negara jika bagian dari negara itu ada hubungan perjanjian. Misalnya ada kementrian yang melakukan proses tender untuk pengadaan, kemudian di menangkan oleh suatu perusahaan swasta. Maka, terjadilah hubungan keperdataan, yakni kontrak atau perjanjian misalnya pengadaan barang-barang ternetu.
Hukum Pidana melibatkan lembaga-lembaga negara atau alatalat negara dibidang penegakan hukum seperti polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum (juga penyidik untuk tindak pidan khusus seperti korupsi) serta yang menjalankan putusan pengadilan, dan juga lembaga pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pemasyarakatan bagi terpidana yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa Hukum pidana Materiil maupun Hukum Pidana Formil, yang sangat berperan adalah negara. Negaralah yang menentukan perbuatan apa yang dilarang atau diwajibkan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan dan negaralah yang menentukan semua ketentuan yang menyangkut dapat dipidananya seseorang atau korporasi dan berbagai aturan dalam cakupan hukum pidana materiil. Selain itu, hanya alat-alat negara saja seperti para penegak hukum seperti polisi, jaksa, atau KPK, yang dapat melakukan penyelidikan kemudian penyidikan atas suatu dugaan tindak pidana.
Sebagai Ilustrasi :
Katakanlah ada seorang Si A melakukan suatu hubungan bisnis untuk jual beli mobil dengan pihak si B. Si A telah membayar lunas kepada B sebesar Rp 800.000.000 dan telah di terima B pada tanggal 1 Agustus 2019. Dalam perjanjian, Si B harus segera menyerahkan mobil kepada Si A pada hari yang sama. Ternyata, setelah beberapa hari B belum juga menyerahkan mobilnya kepada Si A. Belakangan diketahui bahwa B telah menjual mobil tersebut kepada pihak lain yaitu C pada tanggal 30 Juli 2019. Dalam Peristiwa ini, Si A merasa telah ditipu oleh B.
Dengan kisah seperti itu, kita melihat kemungkinan adanya suatu tindak pidana, yakni penipuan yang dilakukan leh B terhadap A. Dengan menjadi korban penipuan, A tidaklah berhak untuk kemudian menyelesaikan masalah tersebut sendiri tanpa ada peran dari negara.
Hal yang bisa dilakukan oleh A adalah melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan B kepada petugas polisi diwilayah tempat perbuatan itu terjadi. Petugas polisi itulah sebagai alat negara yang kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Jika lengkap, polisi kemudian melimpahkan kepada jaksa yang kemudian dengan proses yang sudah diatur untuk dilimpahkan berkas perkara penipuan itu ke pengadilan. Hakim yang kemudian memutuskan perkara itu.
Begitulah seterusnya. Semua Proses telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hal itu tidak bisa dilakukan sendiri oleh korban.
Dari Konteks diatas , Jan Remmelink menegaskan bahwa hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik. Pihak yang mengemban tugas melaksanakan Ius puniendi adalah kejaksaan yang tentu merupakan alat dari negara yang mewakili kepentingan masyarakat luas dan juga korporasi.